BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
NTT
tergolong sebagai salah satu daerah kering dengan kondisi lahan tanah berbatu
dengan musim kering lebih panjang dari musim hujan. Hal ini menyebabkan NTT
termasuk sebagai salah satu daerah yang lahannya tergolong lahan kering.
Namun,
meskipun demikian, masyarakat NTT sebagian besar hidup dari bertani maupun
beternak, yaitu dengan cara mengolah lahan yang ada untuk kegiatan pertanian
demi pemenuhan kebutuhannya sehari-hari.
Pada
awalnya, kegiatan pertanian yang dilakukan dapat menghasilkan pangan yang
melimpah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan menggunakan
pengetahuan dan keterampilan seadanya yang dimiliki petani, mereka mengolah
lahan tersebut sehingga dapat menghasilkan bahan pangan.
Namun,
seiring berjalannya waktu, pertanian di NTT mulai mengalami penurunan secara
perlahan – lahan. Lahan yang dulunya produktif menjadi tidak produktif lagi
sehingga hasil panen yang dapat diperolehpun menurun hingga saat ini seakan
lahan-lahan yang ada di NTT tidak dapat berproduksi lagi. Banyak lahan-lahan
yang menjadi tandus, mengeringnya sumber-sumber air dan tingkat pencemaran
tanah, air dan udara yang tinggi.
Kondisi
di atas merupakan kondisi lahan-lahan pertanian yang ada di NTT pada saat ini.
Kondisi lahan yang kering dan dan tidak subur tersebut masihkan akan dapar
memberikan hasil pertanian yang baik?
Apa yang menyebabkan kering dan hilangnya kesuburan tanah tersebut? Hal
tersebutlah yang menjadi masalah yang sedang dihadapi petani NTT pada saat ini.
Menurunnya
produktifitas lahan di NTT pada saat ini salah satunya disebabkan oleh kegiatan
masyarakat yang melakukan system perladangan ‘Tebas Bakar”, dimana
lahan yang digunakan untuk produksi, setelah selesai masa panen, sisa-sisa
hasil pertanian berupa dedaunan, batang-batang tanaman jagung,padi, dan
vegetasi yang ada pada lahan tersebut ditebas/dibersihkan kemudian dibakar. Hal
dapat menyebabkan matinya mkroorganisme tanah yang berperan sebagai pekerja
tanah. Dengan punahnya pekerja tanah maka akan berdampak pada tanah tersebut,
yaitu tanah tersebut menjadi menurun produktifitasnya. Jika hal ini terjadi
secara terus-menerus, maka bukan tidak mungkin beberapa tahun yang akan datang
lahan di NTT khususnya tidak dapat berproduksi lagi.
B. Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada
petani di NTT agar dapat merubah system perladangan tebas bakar sehingga
kegiatan pertanian di NTT dapat berlangsung secara berkelanjutan. Namun, untuk
mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya peningkatan kesadaran petani NTT dan
perhatian khusus dari pemerintah tentang hal-hal yang berhubungan dengan upaya
pencapaian tujuan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perladangan tebas bakar merupakan persoalan yang
sesungguhnya tidak sederhana. Bagi kebanyakan petani subsisten, perladangan
tebas bakar adalah harapan untuk bisa bertahan hidup. "Kami
harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami
lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik
sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan,
sebagaimana dikutip dalam artikel Tebas Bakar, Bumi
Timor Kian Merana. Ada banyak persoalan lain
yang menjadi sebab mengapa petani subsisten sulit dapat diajak beranjak
meninggalkan perladangan tebas bakar. Bagi petani subsisten di Timor Barat, dan
juga petani-petani subsisten lainnya di berbagai tempat di pelosok Indonesia
dan dunia, perladangan tebas bakar sudah menjadi tradisi yang diwarisi dan
diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah tradisi, sebagaimana halnya
tradisi-tradisi lainnya, perladangan tebas bakar tentu tidak mudah untuk
ditinggalkan, meskipun telah diminta oleh seorang gubernur. Lebih-lebih lagi
bila permintaan itu disertai dengan “dakwaan yang dapat mengusik bawah sadar”
bahwa perladangan tebas bakar yang adalah sebuah tradisi pemberi kehidupan,
justeru dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.
Perladangan sendiri merupakan terminologi yang dipahami
berbeda-beda oleh berbagai pihak. Perladangan merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Inggris shifting cultivation yang berarti kegiatan budidaya tanaman
secara berpindah sehingga penambahan kata berpindah pada kata perladangan
menjadi rancu. Tidak semua perladangan dilakukan dengan melibatkan api, tetapi
karena peranan api sedemikian dominan maka perladangan menjadi identik dengan
perladangan tebas bakar (slash-and-burn shifting cultivation).
Perladangan tebas bakar disebun swidden cultivation bila yang ditebas dan
dibakar adalah hutan belantara lebat sebagaimana yang dilakukan di Sumatera dan
Kalimantan. Lebih daripada sekedar istilah, praktik perladangan tebas bakar
memang sesungguhnya tidak sama di semua tempat. Ada berbagai tipologi
perladangan tebas bakar yang tidak dapat begitu saja diseragamkan untuk didakwa
sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Menurut Monk et al. (1997),
setidak-tidaknya terdapat dua tipe perladangan, yaitu tipe berpindah rotasi dan
tipe berpindah sembarang. Pada tipe yang pertama, pembukaan lahan dilakukan
dengan mengikuti pola berotasi pada hutan sekunder yang, jauh pada tahun-tahun
sebelumnya, telah pernah dibuka sebagai lokasi perladangan. Sebaliknya pada
tipe bepindah sembarang, pembukaan lahan dilakukan pada kawasan hutan primer
yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai lokasi
perladangan.
Terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan dalam jangka
panjang terhadap lingkungan, dalam jangka pendek perladangan tebas bakar
memberikan beragam kemudahan, bahkan justeru keuntungan, bagi petani subsisten
yang terisolasi bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara politik,
ekonomi, dan informasi. Bagi petani peladang, sebagaimana telah dibahas oleh
Mudita (2000a) dan Wilson & Mudita (2000), tebas bakar merupakan cara yang
paling dapat dijangkau untuk membuka lahan dengan cepat, memperoleh abu yang
diperlukan dapat menyuburkan tanaman, dan memperoleh cara paling efisien untuk
mengendalikan gulma dan organisme pengganggu lainnya. Lebih daripada itu,
sebagaimana dikemukakan oleh Ormeling (1955) lebih dari setengah abad yang
lalu, sampai kini api yang menyala tinggi dengan percikan bunga api di
kegelapan malam masih memberikan hiburan semacam pesta kembang api bagi
masyarakat pedalaman yang jarang tersentuh hiburan. Jangankan bagi masyarakat
petani di pedalaman, bahkan di kota sebesar Kota Kupang pun masih ada orang
membakar padang hanya untuk mendapat beberapa ekor burung puyuh liar yang
terparangkap asap dan api.
Ketika berbicara soal dampak buruk perladangan terhadap
lingkungan hidup, orang hanya bisa mengambil kesimpulan dengan cara berpikir
sangat linier. Orang lupa, bahwa ada banyak hal yang berkaitan erat dengan
perladangan tebas bakar dan justeru berkontribusi lebih banyak terhadap dampak
buruk yang terjadi. Ambil sebagai contoh pemeliharaan ternak sapi secara lepas
di Timor Barat. Ternak sapi lepas tersebut hampir tidak pernah dituding
sedemikian gencar sebagai perusak lingkungan sebagaimana halnya perladangan
tebas bakar, padahal dalam banyak kasus, pembakaran juga dilakukan untuk memicu
dan memacu pertumbuhan rumput (Mudita, 2000b). Padahal, pergerakan gerombolan
puluhan ekor sapi tidak hanya menyebabkan berbagai jenis tumbuhan yang
seharusnya mengembalikan kawasan perladangan menjadi hutan akan hancur
terinjak-injak, melainkan pijakan kaki puluhan ekor sapi menjadikan tanah pada
lahan berkelerengan tinggi menjadi mudah tererosi. Tetapi yang kemudian
menjadikan sapi tidak dituduh sebagai perusak lingkungan adalah karena sapi
menghasilkan uang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh satu hektar
jagung dari perladangan tebas bakar. Dan ironisnya, ketika meminta masyarakat
untuk berhenti mempraktikkan perladangan tebas bakar, Gubernur NTT justeru
berniat menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang ternak”. Memang tidak semua
ternak sapi dibiarkan lepas merumput di padang-padang rumput tak bertuan (common
access property), tetapi orang-orang yang mampu berpikir jernih pasti tahu,
bahwa penyebab terjadinya bencana untuk semua (tragedy of the common) di
Timor Barat adalah juga sapi.
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Berdasarkan
hasil pengamatan dilapang sehari-hari diperoleh dimana hingga saat ini masih
banyak petani-petani di NTT yang menerapkan system perladangan tebas bakar.
B. PEMBAHASAN
Pola
perladangan ‘Tebas Bakar” di NTT seakan sudah menjadi sebuah kebudayaan/tradisi
petani NTT dalam melakukan pengolahan lahan yang kemudian diturunkan dari
generasi ke generasi. Pola pertanian semacam ini seakan sudah mendarah daging
dan melekat pada tubuh petani NTT. Hal ini ditunjukkan dimana jika tiba musim
olah lahan di NTT, maka kita akan melihat asap dimana-mana.
Kebiasaan
tebas bakar memang dapat memberikan beberapa manfaat bagi petani, diantaranya
adalah dapat mempercepat proses pembersihan lahan serta abu hasil pembakaran
dapat menyuburkan tanah. Menurut Kasumbogo (2001), pembakaran padang
alang-alang dimusim kemarau oleh petani peladang bertujuan agar merangsang
pertumbuhan rumput-rumput muda sehingga persediaan pakan untuk hewan ternak
tetap tersedia. Pembakaran juga memudahkan petani untuk menugal benih tanaman
pangan sehingga petani tidak perlu melakukan pengolahan tanah.
Manfaat
lain dari pembakaran jaringan tumbuhan adalah terbentuknya abu hasil pembakaran
dalam jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah
sedangkan unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya
(Ewusie,1990).
Pembakaran
yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif terhadap lingkungan apalagi
kondisi iklim di Kawasan Timur Indonesia yang sebagian adalah beriklim kering.
Sesudah kegiatan pembakaran,tanah menjadi terbuka dan erosi akan lebih cepat
terjadi pada saat musim hujan dan mempercepat habisnya tanah lapisan atas (top
soil). Akibat dari erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30 cm
akan habis dalam jangka waktu 3-4 tahun (Suwardjo, 1994).
Pembakaran
yang terlalu sering dilakukan dan waktu pembakaran yang dilakukan pada
penghujung musim kemarau akan mempunyai dampak negatif yang sangat besar dan
luas terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah maupun terhadap bahaya
erosi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Beberapa
suku asli di sana mempunyai adat istiadat yang mengaitkan dan memperhitungkan
lingkungan sekelilingnya dalam mengusahakan usahatani yang menggunakan
pembakaran. Bagi masyarakat NTT , jika cara ini terus dilakukan dengan interval
waktu yang singkat, kerusakan yang timbul bahkan dapat menambah luasnya lahan kritis.
Di lain pihak, meningkatnya populasi penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan
dan pangan semakin meningkat. Hal ini memungkinan pembukaan ladang baru yang
justru menyebabkan semakin terkurasnya kesuburan tanah.
Jika
kondisi ini terus berlangsung, maka pertanian NTT tidak akan dapat memnuhi
permintaan akan pangan yang meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan
jumlah penduduk. Dengan demikian, maka terpaksa harus dilakukan impor bahan
pangan dari luar NTT.
Dengan
melihat kondisi yang demikian, maka ada beberapa solusi yang dapat diterapkan
untuk mengatasi masalah ini, diantaranya adalah :
1. Malakukan
peningkatan kesadaran masyarakat tani agar tidak melakukan system perladangan tebas bakar,
karena hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada lahan yang dapat menyebabkan
penurunan pruduktifitas lahan pertanian.
Cara
yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat yaitu melalui
kegiatan sosialisai, penyuluhan, diskusi-diskusi dan ceramah. Dengan melakukan
pedekatan sebanyak mungkin dengan petani, maka kemungkinan besar paetani akan
timbul kesadarannya dan tidak menerapkan system perladangan tebas bakar lagi.
2. Perlu
adanya perhatian khusus dari pihak pemerintah dalam upaya peningkatan
produktifitas lahan melalui pengenalan dan penerapan teknologi yang dapat
menunjang peningkatan produktifitas lahan.
Dengan melihat kebiasaan tebas bakar yang dilakukan
petani pada saat ini, dimana semua bahan sisa hasil pertanian yang sebenarnya
masih bermanfaat ikut terbakar dan menjadi abu. Hal ini dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh petani. Oleh karena itu,
maka perlu adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani melalui
pengenalan dan penerapan teknologi baru dalam bidang pertanian.
Teknologi
yang dapat terapkan salah satunya yaitu teknologi pengawetan pakan ternak
dengan pembuatan silase. Silase
adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan teknologi fermentasi.
Pembuatan silase bertujuan untuk mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan
makanan ternak pada musim kemarau.
Dengan penerapan teknologi ini maka
tidak aka nada bahan sisa hasil pertanian yang akan terbuang percuma, karena
bahan-bahan tadi dapat diawetkan menjadi pakan ternak untuk digunakan pada
musim kemarau. Sedangkan bahan – bahan yang tidak dapat diolah menjadi pakan
ternak dapt diolah menjadi pupuk organic seperti bokasi.
Dengan penerapan teknologi Silase
akan sangat mendukung program pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai provinsi
ternak. Dengan penerapan teknologi ini maka petani tidak perlu ragu lagi akan
persedian pakan ternak pada musim kemarau. Pada musim kemarau pakan ternak akan
selalu tersedia karena sebelumnya telah diawetkan.
Selain itu, bermanfaat dalam upaya
penyediaan pakan ternak pada musim kemarau, teknologi ini juga sanagat cocok
diterapkan dalam kegiatan usaha tani terpadu, dimana hijauan yang diawetkan dan
diberikan pada ternak akan dikeluarkan kembali oleh ternak dalam bentuk feses
yang kemudian dapat digunakan sebagai pupuk
bagi tanaman dan dapat meningkatkan kesuburan tanah.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa system perladangan tebas bakar
sangat berdampak negative bagi produktifitas lahan pertanaian, diantaranya
adalah dapat menurunkan produktifitas lahan. Oleh karena itu, maka system
pertanian seperti ini perlu untuk dihindari.
Silase adalah hijauan makanan ternak
(HMT) yang diawetkan dengan teknologi fermentasi. Pembuatan silase bertujuan
untuk mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak pada musim
kemarau. Dengan penerapan teknologi ini diharapkan pada musim kemarau pakan
ternak akan selalu tersedia bagi ternak.
Jika teknologi silase dihubungkan dengan
kebiasaan tebas bakar petani di NTT, maka boleh dikatakan bahwa penerapan
teknologi ini sangat baik, karena dari pada bahan sisa hasil pertanian dan
hijauan yang terdapat pada lahan ditebas dan dibakar, alangkah lebih baiknya
bila bahan sisa hasil pertanian dan hijauan yang ada pada lahan tersebut
diawetkan sehingga pada musim kemarau pakan ternak akan selalu tersedia bagi
ternak.
B. SARAN
Disarankan kepada petani yang membaca makalah ini untuk
dapat melakukannya dalam kehidupan sehari-hari demi keberlangsungan kegiatan
pertanian secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
·
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081013004840
Tidak ada komentar:
Posting Komentar