Minggu, 22 Desember 2013

TEBAS BAKAR DI NTT


BAB  I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

NTT tergolong sebagai salah satu daerah kering dengan kondisi lahan tanah berbatu dengan musim kering lebih panjang dari musim hujan. Hal ini menyebabkan NTT termasuk sebagai salah satu daerah yang lahannya tergolong lahan kering.
Namun, meskipun demikian, masyarakat NTT sebagian besar hidup dari bertani maupun beternak, yaitu dengan cara mengolah lahan yang ada untuk kegiatan pertanian demi pemenuhan kebutuhannya sehari-hari.
Pada awalnya, kegiatan pertanian yang dilakukan dapat menghasilkan pangan yang melimpah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan seadanya yang dimiliki petani, mereka mengolah lahan tersebut sehingga dapat menghasilkan bahan pangan.
Namun, seiring berjalannya waktu, pertanian di NTT mulai mengalami penurunan secara perlahan – lahan. Lahan yang dulunya produktif menjadi tidak produktif lagi sehingga hasil panen yang dapat diperolehpun menurun hingga saat ini seakan lahan-lahan yang ada di NTT tidak dapat berproduksi lagi. Banyak lahan-lahan yang menjadi tandus, mengeringnya sumber-sumber air dan tingkat pencemaran tanah, air dan udara yang tinggi.
Kondisi di atas merupakan kondisi lahan-lahan pertanian yang ada di NTT pada saat ini. Kondisi lahan yang kering dan dan tidak subur tersebut masihkan akan dapar memberikan  hasil pertanian yang baik? Apa yang menyebabkan kering dan hilangnya kesuburan tanah tersebut? Hal tersebutlah yang menjadi masalah yang sedang dihadapi petani NTT pada saat ini.
Menurunnya produktifitas lahan di NTT pada saat ini salah satunya disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang melakukan system perladangan ‘Tebas Bakar”, dimana lahan yang digunakan untuk produksi, setelah selesai masa panen, sisa-sisa hasil pertanian berupa dedaunan, batang-batang tanaman jagung,padi, dan vegetasi yang ada pada lahan tersebut ditebas/dibersihkan kemudian dibakar. Hal dapat menyebabkan matinya mkroorganisme tanah yang berperan sebagai pekerja tanah. Dengan punahnya pekerja tanah maka akan berdampak pada tanah tersebut, yaitu tanah tersebut menjadi menurun produktifitasnya. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, maka bukan tidak mungkin beberapa tahun yang akan datang lahan di NTT khususnya tidak dapat berproduksi lagi.


B.   Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada petani di NTT agar dapat merubah system perladangan tebas bakar sehingga kegiatan pertanian di NTT dapat berlangsung secara berkelanjutan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya peningkatan kesadaran petani NTT dan perhatian khusus dari pemerintah tentang hal-hal yang berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan tersebut.










BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

Perladangan tebas bakar merupakan persoalan yang sesungguhnya tidak sederhana. Bagi kebanyakan petani subsisten, perladangan tebas bakar adalah harapan untuk bisa bertahan hidup. "Kami harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan, sebagaimana dikutip dalam artikel Tebas Bakar, Bumi Timor Kian Merana. Ada banyak persoalan lain yang menjadi sebab mengapa petani subsisten sulit dapat diajak beranjak meninggalkan perladangan tebas bakar. Bagi petani subsisten di Timor Barat, dan juga petani-petani subsisten lainnya di berbagai tempat di pelosok Indonesia dan dunia, perladangan tebas bakar sudah menjadi tradisi yang diwarisi dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah tradisi, sebagaimana halnya tradisi-tradisi lainnya, perladangan tebas bakar tentu tidak mudah untuk ditinggalkan, meskipun telah diminta oleh seorang gubernur. Lebih-lebih lagi bila permintaan itu disertai dengan “dakwaan yang dapat mengusik bawah sadar” bahwa perladangan tebas bakar yang adalah sebuah tradisi pemberi kehidupan, justeru dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.
Perladangan sendiri merupakan terminologi yang dipahami berbeda-beda oleh berbagai pihak. Perladangan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris shifting cultivation yang berarti kegiatan budidaya tanaman secara berpindah sehingga penambahan kata berpindah pada kata perladangan menjadi rancu. Tidak semua perladangan dilakukan dengan melibatkan api, tetapi karena peranan api sedemikian dominan maka perladangan menjadi identik dengan perladangan tebas bakar (slash-and-burn shifting cultivation). Perladangan tebas bakar disebun swidden cultivation bila yang ditebas dan dibakar adalah hutan belantara lebat sebagaimana yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Lebih daripada sekedar istilah, praktik perladangan tebas bakar memang sesungguhnya tidak sama di semua tempat. Ada berbagai tipologi perladangan tebas bakar yang tidak dapat begitu saja diseragamkan untuk didakwa sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Menurut Monk et al. (1997), setidak-tidaknya terdapat dua tipe perladangan, yaitu tipe berpindah rotasi dan tipe berpindah sembarang. Pada tipe yang pertama, pembukaan lahan dilakukan dengan mengikuti pola berotasi pada hutan sekunder yang, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, telah pernah dibuka sebagai lokasi perladangan. Sebaliknya pada tipe bepindah sembarang, pembukaan lahan dilakukan pada kawasan hutan primer yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai lokasi perladangan.
Terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan dalam jangka panjang terhadap lingkungan, dalam jangka pendek perladangan tebas bakar memberikan beragam kemudahan, bahkan justeru keuntungan, bagi petani subsisten yang terisolasi bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara politik, ekonomi, dan informasi. Bagi petani peladang, sebagaimana telah dibahas oleh Mudita (2000a) dan Wilson & Mudita (2000), tebas bakar merupakan cara yang paling dapat dijangkau untuk membuka lahan dengan cepat, memperoleh abu yang diperlukan dapat menyuburkan tanaman, dan memperoleh cara paling efisien untuk mengendalikan gulma dan organisme pengganggu lainnya. Lebih daripada itu, sebagaimana dikemukakan oleh Ormeling (1955) lebih dari setengah abad yang lalu, sampai kini api yang menyala tinggi dengan percikan bunga api di kegelapan malam masih memberikan hiburan semacam pesta kembang api bagi masyarakat pedalaman yang jarang tersentuh hiburan. Jangankan bagi masyarakat petani di pedalaman, bahkan di kota sebesar Kota Kupang pun masih ada orang membakar padang hanya untuk mendapat beberapa ekor burung puyuh liar yang terparangkap asap dan api.
Ketika berbicara soal dampak buruk perladangan terhadap lingkungan hidup, orang hanya bisa mengambil kesimpulan dengan cara berpikir sangat linier. Orang lupa, bahwa ada banyak hal yang berkaitan erat dengan perladangan tebas bakar dan justeru berkontribusi lebih banyak terhadap dampak buruk yang terjadi. Ambil sebagai contoh pemeliharaan ternak sapi secara lepas di Timor Barat. Ternak sapi lepas tersebut hampir tidak pernah dituding sedemikian gencar sebagai perusak lingkungan sebagaimana halnya perladangan tebas bakar, padahal dalam banyak kasus, pembakaran juga dilakukan untuk memicu dan memacu pertumbuhan rumput (Mudita, 2000b). Padahal, pergerakan gerombolan puluhan ekor sapi tidak hanya menyebabkan berbagai jenis tumbuhan yang seharusnya mengembalikan kawasan perladangan menjadi hutan akan hancur terinjak-injak, melainkan pijakan kaki puluhan ekor sapi menjadikan tanah pada lahan berkelerengan tinggi menjadi mudah tererosi. Tetapi yang kemudian menjadikan sapi tidak dituduh sebagai perusak lingkungan adalah karena sapi menghasilkan uang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh satu hektar jagung dari perladangan tebas bakar. Dan ironisnya, ketika meminta masyarakat untuk berhenti mempraktikkan perladangan tebas bakar, Gubernur NTT justeru berniat menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang ternak”. Memang tidak semua ternak sapi dibiarkan lepas merumput di padang-padang rumput tak bertuan (common access property), tetapi orang-orang yang mampu berpikir jernih pasti tahu, bahwa penyebab terjadinya bencana untuk semua (tragedy of the common) di Timor Barat adalah juga sapi.










BAB  III
 HASIL DAN PEMBAHASAN

A.   HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan dilapang sehari-hari diperoleh dimana hingga saat ini masih banyak petani-petani di NTT yang menerapkan system perladangan tebas bakar.


B.   PEMBAHASAN

Pola perladangan ‘Tebas Bakar” di NTT seakan sudah menjadi sebuah kebudayaan/tradisi petani NTT dalam melakukan pengolahan lahan yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Pola pertanian semacam ini seakan sudah mendarah daging dan melekat pada tubuh petani NTT. Hal ini ditunjukkan dimana jika tiba musim olah lahan di NTT, maka kita akan melihat asap dimana-mana.
Kebiasaan tebas bakar memang dapat memberikan beberapa manfaat bagi petani, diantaranya adalah dapat mempercepat proses pembersihan lahan serta abu hasil pembakaran dapat menyuburkan tanah. Menurut Kasumbogo (2001), pembakaran padang alang-alang dimusim kemarau oleh petani peladang bertujuan agar merangsang pertumbuhan rumput-rumput muda sehingga persediaan pakan untuk hewan ternak tetap tersedia. Pembakaran juga memudahkan petani untuk menugal benih tanaman pangan sehingga petani tidak perlu melakukan pengolahan tanah.
Manfaat lain dari pembakaran jaringan tumbuhan adalah terbentuknya abu hasil pembakaran dalam jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah sedangkan unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya (Ewusie,1990).
Pembakaran yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif terhadap lingkungan apalagi kondisi iklim di Kawasan Timur Indonesia yang sebagian adalah beriklim kering. Sesudah kegiatan pembakaran,tanah menjadi terbuka dan erosi akan lebih cepat terjadi pada saat musim hujan dan mempercepat habisnya tanah lapisan atas (top soil). Akibat dari erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30 cm akan habis dalam jangka waktu 3-4 tahun (Suwardjo, 1994).
Pembakaran yang terlalu sering dilakukan dan waktu pembakaran yang dilakukan pada penghujung musim kemarau akan mempunyai dampak negatif yang sangat besar dan luas terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah maupun terhadap bahaya erosi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Beberapa suku asli di sana mempunyai adat istiadat yang mengaitkan dan memperhitungkan lingkungan sekelilingnya dalam mengusahakan usahatani yang menggunakan pembakaran. Bagi masyarakat NTT , jika cara ini terus dilakukan dengan interval waktu yang singkat, kerusakan yang timbul bahkan dapat menambah luasnya lahan kritis. Di lain pihak, meningkatnya populasi penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan dan pangan semakin meningkat. Hal ini memungkinan pembukaan ladang baru yang justru menyebabkan semakin terkurasnya kesuburan tanah.
Jika kondisi ini terus berlangsung, maka pertanian NTT tidak akan dapat memnuhi permintaan akan pangan yang meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk. Dengan demikian, maka terpaksa harus dilakukan impor bahan pangan dari luar NTT.
Dengan melihat kondisi yang demikian, maka ada beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya adalah :
1.    Malakukan peningkatan kesadaran masyarakat tani agar tidak melakukan system perladangan tebas bakar, karena hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada lahan yang dapat menyebabkan penurunan pruduktifitas lahan pertanian.
Cara yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat yaitu melalui kegiatan sosialisai, penyuluhan, diskusi-diskusi dan ceramah. Dengan melakukan pedekatan sebanyak mungkin dengan petani, maka kemungkinan besar paetani akan timbul kesadarannya dan tidak menerapkan system perladangan tebas bakar lagi.

2.    Perlu adanya perhatian khusus dari pihak pemerintah dalam upaya peningkatan produktifitas lahan melalui pengenalan dan penerapan teknologi yang dapat menunjang peningkatan produktifitas lahan.
Dengan melihat kebiasaan tebas bakar yang dilakukan petani pada saat ini, dimana semua bahan sisa hasil pertanian yang sebenarnya masih bermanfaat ikut terbakar dan menjadi abu. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh petani. Oleh karena itu, maka perlu adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani melalui pengenalan dan penerapan teknologi baru dalam bidang pertanian.
Teknologi yang dapat terapkan salah satunya yaitu teknologi pengawetan pakan ternak dengan pembuatan silase. Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan teknologi fermentasi. Pembuatan silase bertujuan untuk mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak pada musim kemarau.
Dengan penerapan teknologi ini maka tidak aka nada bahan sisa hasil pertanian yang akan terbuang percuma, karena bahan-bahan tadi dapat diawetkan menjadi pakan ternak untuk digunakan pada musim kemarau. Sedangkan bahan – bahan yang tidak dapat diolah menjadi pakan ternak dapt diolah menjadi pupuk organic seperti bokasi.
Dengan penerapan teknologi Silase akan sangat mendukung program pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai provinsi ternak. Dengan penerapan teknologi ini maka petani tidak perlu ragu lagi akan persedian pakan ternak pada musim kemarau. Pada musim kemarau pakan ternak akan selalu tersedia karena sebelumnya telah diawetkan.
Selain itu, bermanfaat dalam upaya penyediaan pakan ternak pada musim kemarau, teknologi ini juga sanagat cocok diterapkan dalam kegiatan usaha tani terpadu, dimana hijauan yang diawetkan dan diberikan pada ternak akan dikeluarkan kembali oleh ternak dalam bentuk feses yang kemudian dapat digunakan sebagai pupuk  bagi tanaman dan dapat meningkatkan kesuburan tanah.






















BAB  IV
PENUTUP

A.   KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa system perladangan tebas bakar sangat berdampak negative bagi produktifitas lahan pertanaian, diantaranya adalah dapat menurunkan produktifitas lahan. Oleh karena itu, maka system pertanian seperti ini perlu untuk dihindari.
Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan teknologi fermentasi. Pembuatan silase bertujuan untuk mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak pada musim kemarau. Dengan penerapan teknologi ini diharapkan pada musim kemarau pakan ternak akan selalu tersedia bagi ternak.
Jika teknologi silase dihubungkan dengan kebiasaan tebas bakar petani di NTT, maka boleh dikatakan bahwa penerapan teknologi ini sangat baik, karena dari pada bahan sisa hasil pertanian dan hijauan yang terdapat pada lahan ditebas dan dibakar, alangkah lebih baiknya bila bahan sisa hasil pertanian dan hijauan yang ada pada lahan tersebut diawetkan sehingga pada musim kemarau pakan ternak akan selalu tersedia bagi ternak.

B.   SARAN
Disarankan kepada petani yang membaca makalah ini untuk dapat melakukannya dalam kehidupan sehari-hari demi keberlangsungan kegiatan pertanian secara berkelanjutan.


Daftar Pustaka


·         http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081013004840

Tidak ada komentar: