BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Septicaemia
Epizootica (SE)
atau penyakit ngorok adalah satu satu penyakit hewan menular strategis pada
ruminansia besar yang ada di Indonesia. Di dunia, penyakit ini banyak menyebar di daerah
Asia yang memiliki curah hujan yang tinggi seperti Indonesia, Philippina,
Thailand dan Malaysia. Di Amerika kasus SE pernah dilaporkan terjadi pada tiga
kawanan Bison. Penyakit ini juga dilaporkan disejumlah negara Afrika seperti di
negara-negara timur tengah serta negara Afrika Tengah dan Afrika Selatan
(OIE 2009). Di Indonesia Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun
1884, di daerah Balaraja Tangerang (Direktorat Kesehatan Hewan 1977).
Penyakit SE dilaporkan terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Bengkulu,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Nusa Tenggara Timur (Natalia & Priadi
2006).
Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah endemis SE kecuali Kabupaten Lembata.
Setiap tahun kasus SE terjadi secara klinis di seluruh wilayah NTT. Program
pembarantasan sudah dimulai sejak tahun 1984/1985 yaitu di kabupaten Sumba
Timur, namun tidak jelas kelanjutannya. Tahun 2004 kembali dicanangkan program
pemberantasan SE dan masih ditargetkan
Pulau Sumba bebas SE pada tahun 2008, namun belum bisa dicapai. Di NTT penyakit
SE merupakan salah satu dari sembilan penyakit hewan menular yang ada di NTT
yang mendapat prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya.
Penyakit
SE merupakan salah satu penyakit yang telah bersifat endemik dan menimbulkan
kerugian ekonomi yang cukup besar. Mangkoewidjojo et al. (1982) memperkirakan
kerugiannya di Indonesia mencapai 5,4 milyar rupiah pertahun berupa : matinya
hewan peka, turunnya berat badan, hilangnya tenaga kerja. Telah dibuktikan
bahwa salah satu cara penanggulangan SE yang paling efektif dengan jalan
melakukan vaksinasi masal pada hewan peka.
Dalam
rangka mengendalikan penyebaran atau penularan penyakit ini maka perlu untuk
diagnosis terhadap penyakit SE. Diagnosis yang tepat melalui pemahaman
dari karakteristik penyakit serta perubahan patologinya dapat menunjang
penanganan yang tepat pula. Selain itu dengan mengetahui karakteristik penyakit
dapat menentukan strategi dari penegndalian dan prevensi penyakit SE. Di daerah
endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan
gejala klinis. Sesuai dengan namanya, pada hewan yang terinfeksi menunjukan
gejala ngorok (mendengkur). Diagnosis ini kemudian dipertegas dengan isolasi
dan identifikasi bakteri. Pemeriksaan post mortem juga dapat menunjang
diagnosis serta proses infeksi.
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE
dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya
bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering
ditemukan, misalnya di daerah-daerah
Nusa Tenggara, seperti Sumba, Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. Pada
umumnya wabah itu terjadi pada permulaan musim hujan. Hal ini biasanya
disebabkan karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu. Keadaan ini
mungkin karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di mana ternak merumput
secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.
1.2.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui tentang penyakit menular Septicaemia Epizootica (SE), penyebab
dan cara mengatasinya.
1.3.
Manfaat
Manfaat dari
penulisan makalah
ini yaitu untuk memberikan solusi masalah yang menjadi problem pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit Septicaemia
Epizootica (SE).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Penyakit Septicemia
Epizootica (SE)
Penyakit SE (Septicemia epizootica), disebut juga Septicemia hemorrhagica,
hemorrhagic septicemia, Barbone dan penyakit ngorok. Penyakit SE
disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk
cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Penyakit SE
merupakan penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi serta
kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda.
2.2.
Patogenesis
Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella
multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui
beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang
terinfeksi akan jatuh ke tanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada dalam
cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan
dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka
akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin
baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman,
atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk
kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran
pernafasan.
Hewan akan menjadi
kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu
serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang
bercampur darah . Umunya kasus SE bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian
hewan dalam waktu singkat. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE
dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalannya penyakit sampai kematian
pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai
kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah
masa inkubasi 2 – 5 hari.
2.3.
Penularan
Cara
penularan penyakit SE pada ternak yaitu melalui infeksi bakteri ke dalam tubuh
hewan pada
daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular oleh ternak sakit melalui kontak
atau melalui makanan, minuman dan alat tercemar. Ekskreta ternak penderita
(saliva, kemih dan feces) juga mengandung bakteri. Bakteri yang jatuh ke tanah
apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) maka
akan tahan sekitar 1 minggu dan dapat menulari ternak yang digembalakan di
tempat tersebut. Sapi yang menderita penyakit SE harus diisolasi pada tempat
yang terpisah. Apabila sapi itu mati atau dapat sembuh kembali, kandang dan
peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu harus dihapushamakan. Jangan
gunakan kandang tersebut selama 2 minggu.
2.4.
Daerah yang Sering Terserang Penyakit SE dan Jenis
Ternak yang bisa Terserang
Di
dunia, penyakit SE sering menyerang daerah Asia seperti Indonesia,
Philippina, Thailand dan Malaysia. Selain itu, penyakit ini juga menyerang pada daerah
Afrika dan Amerika. Khususnya di Indonesia, penyakit SE terjadi di daerah
Tanggerang, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk daerah NTT, peyakit SE
menyerang di beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Kupang dan Sumba Timur.
Penyakit SE adalah penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada
domba, kambing dan kuda.
2.5.
Prevensi Penyakit SE
1.
Pencegahan terhadap penyakit
ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
a) Untuk
daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat
terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk
daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin
yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada
hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut:
penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau
penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.
2. Penanggulangan
dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a) Dalam
keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan
tersangka sakit disertai pengobatan.
b) Dalam
keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan
batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan
sebagai berikut:
-
Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan
vaksinasi.
-
Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit
disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan
dan dosis pencegahan.
3. Ketentuan-ketentuan
dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai
berikut:
a) Hewan
yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak
kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan
disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang.
Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut
harus ditutup dengan tanah.
b) Dipintu-pintu
masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang
terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan
menular.
c) Hewan
yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar
dilarang masuk.
d) Jika
terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan
dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e) Setelah
hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah
bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi.
Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan
yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f) Jika
seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g) Penyakit
dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau
sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat
dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya
sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk
dikonsumsi.
b)
Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat
disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu
pemotongan.
c)
Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka
harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d)
Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus
segera dibakar atau dikubur.
2.6.
Gejala Klinis
Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari.
Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih.
Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput lendir mata hiperemik. Napsu makan,
memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi.
Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan
tinja yang konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik
darah. Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang
dapat melanjut ke nekrose kulit.
Pada
SE dikenal tiga bentuk, yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada
bentuk busung ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian
bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat
kelamin juga mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi, sampai 90%
dan berlangsung cepat, hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu. Sebelum
mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas
(dyspnoe) dan suara ngorok, merintih dengan gigi gemeretak.
Pada
bentuk pektoral, tanda-tanda bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai
dengan batuk kering dan nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus
hidung, pernafasan cepat dan susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung
lebih lama, yaitu antara 1–3 minggu. Kadang-kadang penyakit dapat berjalan kronis,
ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan terganggu, terus menerus
mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret degil (sulit
disembuhkan) yang bercampur darah.
2.7.
Metode Diagnosa
Metode diagnosa penyakit
SE pada ternak meliputi:
1.
Pengiriman bahan
Sediaan
ulas darah jantung yang difiksasi metil alkohol
Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteur
Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.
Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteur
Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.
2.
Pemeriksaan di Laboratorium
Preparat
ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri
bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif.
Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah.
Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah.
3.
Percobaan Biologi
Hewan
percobaan yang peka yaitu kelinci, perkutut dan mencit yang disuntik secara
subkutan (SC) atau intra muscular (IM). Pada kelinci dapat dilakukan dengan
menggoreskan bahan tersangka pada kulit telinga, terutama jika bahan yang
dikirim telah busuk. Hewan yang disuntik dengan bakteri ini akan memperlihatkan
gejala perdarahan pada pembuluh darah paru-paru dan jantung.
2.8.
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian penyakit SE pada ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian
antibiotika sebagai berikut:
1.
Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB
(sapi, kerbau), 50 mg/5 Kg BB (kambing, domba).
2.
Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB (sapi,
kerbau), 50 – 100 mg/Kg BB (kambing, domba}.
3. Sulphadimidine
(Sulphamezathine): 2 gram/30 Kg BB.
Upaya pencegahan terhadap masuknya/serangan penyakit SE pada ternak dapat
dilakukan denan cara:
1.
Pada daerah bebas SE perlu peraturan yang ketat
terhadap pemasukan ternak kedaerah tersebut.
2.
Bagi daerah tertular, dilakukan vaksinasi
terhadap ternak yang sehat dengan vaksin oil adjuvant. Sedikitnya setahun
sekali dengan dosis 3 ml secara intramuskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat
tidak ada kejadian penyakit.
3.
Langkah untuk pengendalian SE antara lain:
karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit, dan
disinfeksi.
2.9.
Biosekurity dan Vaksin Penyakit SE
Dalam keadaan
penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas
daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai
berikut: Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi. Didalam daerah
tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum
dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.
Vaksinasi dilakukan pada
perubahan musim dengan dosis 3 ml secara intramuskuler, sedikitnya setahun
sekali
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Penyakit SE (Septicemia epizootica), merupakan penyakit menular yang disebabakan oleh
bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan
bersifat bipolar. Penyakit SE
menyerang pada ternak sapi, kerbau, domba, babi, kambing dan kuda. Khusus untuk
daera NTT, kabupaten yang sering terkena serangan penyakit SE yaitu pada
Kabupaten Kupang dan Sumba Timur. Pencegahan penyakit SE pada ternakdapat
dilakukan dengan pemberian Vaksin pada ternak secara teratur, pengawasan kaluar
masuknya ternak dari daerah yang sudah terserang penyakit ini. Selain itu,
untuk mencegah penularan penyakit SE pada ternak juga dapat dilakukan melalui
sanitasi kandang/areal tempat pemeliharaan ternak.
3.2.
Saran
Dalam upaya
mencegah terjangkitnya penyakit SE pada ternak maka disarankan untuk selalu
adanya kerjasama antara pihak pemerintah, penyuluh peternakan dan petani ternak
untuk saling bersinergi dalam mewujudkan daerah yang bebas dari penyakit SE.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE). Dalam Pedoman Pengendalian
Penyakit Hewan Menular. Lokakarya Penyusunan Pedoman Pengendalian Penyakit
Hewan Menular. Cisarua, Bogor. Tahun 1976.
Mangkoewidjojo, S., A. Bangun, dan S. Nitisuwirjo. 1982.
Beberapa penyakit ruminansia dan aspek penelitiannya. Pertemuan Ilmiah Ruminansia
Besar. Cisarua, Bogor.
Natalia
L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha
Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam: Puslitbang
Peternakan . Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12
juli 2006.
OIE (Office International des Epizooties). 2008. Haemorraghic Septicaemia. Manual of
Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar