Minggu, 04 Mei 2014

MAKALAH PENYAKIT SRATEGIS SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah satu satu penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar yang ada di Indonesia. Di dunia, penyakit ini banyak menyebar di daerah Asia yang memiliki curah hujan yang tinggi seperti Indonesia, Philippina, Thailand dan Malaysia. Di Amerika kasus SE pernah dilaporkan terjadi pada tiga kawanan Bison. Penyakit ini juga dilaporkan disejumlah negara Afrika seperti di negara-negara timur tengah serta negara  Afrika Tengah dan Afrika Selatan (OIE 2009).  Di Indonesia Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1884, di daerah Balaraja Tangerang (Direktorat Kesehatan Hewan 1977). Penyakit SE dilaporkan terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Bengkulu, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Nusa Tenggara Timur (Natalia & Priadi 2006).  
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah endemis SE kecuali Kabupaten Lembata. Setiap tahun kasus SE terjadi secara klinis di seluruh wilayah NTT. Program pembarantasan sudah dimulai sejak tahun 1984/1985 yaitu di kabupaten Sumba Timur, namun tidak jelas kelanjutannya. Tahun 2004 kembali dicanangkan program pemberantasan  SE dan masih ditargetkan Pulau Sumba bebas SE pada tahun 2008, namun belum bisa dicapai. Di NTT penyakit SE merupakan salah satu dari sembilan penyakit hewan menular yang ada di NTT yang mendapat prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya.
Penyakit SE merupakan salah satu penyakit yang telah bersifat endemik dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Mangkoewidjojo et al. (1982) memperkirakan kerugiannya di Indonesia mencapai 5,4 milyar rupiah pertahun berupa : matinya hewan peka, turunnya berat badan, hilangnya tenaga kerja. Telah dibuktikan bahwa salah satu cara penanggulangan SE yang paling efektif dengan jalan melakukan vaksinasi masal pada hewan peka.
Dalam rangka mengendalikan penyebaran atau penularan penyakit ini maka perlu untuk  diagnosis terhadap penyakit SE. Diagnosis yang tepat melalui pemahaman dari karakteristik penyakit serta perubahan patologinya dapat menunjang penanganan yang tepat pula. Selain itu dengan mengetahui karakteristik penyakit dapat menentukan strategi dari penegndalian dan prevensi penyakit SE. Di daerah endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan gejala klinis. Sesuai dengan namanya, pada hewan yang terinfeksi menunjukan gejala ngorok (mendengkur). Diagnosis ini kemudian dipertegas dengan isolasi dan identifikasi bakteri. Pemeriksaan  post mortem juga dapat menunjang diagnosis serta proses infeksi.
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah  Nusa Tenggara, seperti Sumba, Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. Pada umumnya wabah itu terjadi pada permulaan musim hujan. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu. Keadaan ini mungkin karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di mana ternak merumput secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.

1.2.            Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui tentang penyakit menular Septicaemia Epizootica (SE), penyebab dan cara mengatasinya.

1.3.            Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk memberikan solusi masalah yang menjadi problem pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit Septicaemia Epizootica (SE).
















BAB II
PEMBAHASAN


2.1.            Penyakit Septicemia Epizootica (SE)
Penyakit SE (Septicemia epizootica), disebut juga Septicemia hemorrhagica, hemorrhagic septicemia, Barbone dan penyakit ngorok. Penyakit SE disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Penyakit SE merupakan penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi serta kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda.
2.2.            Patogenesis
Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ke tanah atau terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan.
 Hewan akan menjadi kurus, dengan gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah . Umunya kasus SE bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam waktu singkat. Biasanya kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalannya penyakit  sampai kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari.
2.3.       Penularan  
Cara penularan penyakit SE pada ternak yaitu melalui infeksi bakteri ke dalam tubuh hewan pada daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular oleh ternak sakit melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat tercemar. Ekskreta ternak penderita (saliva, kemih dan feces) juga mengandung bakteri. Bakteri yang jatuh ke tanah apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) maka akan tahan sekitar 1 minggu dan dapat menulari ternak yang digembalakan di tempat tersebut. Sapi yang menderita penyakit SE harus diisolasi pada tempat yang terpisah. Apabila sapi itu mati atau dapat sembuh kembali, kandang dan peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu harus dihapushamakan. Jangan gunakan kandang tersebut selama  2 minggu.
2.4.            Daerah yang Sering Terserang Penyakit SE dan Jenis Ternak yang bisa Terserang
Di dunia, penyakit SE sering menyerang daerah Asia seperti Indonesia, Philippina, Thailand dan Malaysia. Selain itu, penyakit ini juga menyerang pada daerah Afrika dan Amerika. Khususnya di Indonesia, penyakit SE terjadi di daerah Tanggerang, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk daerah NTT, peyakit SE menyerang di beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Kupang dan Sumba Timur. Penyakit SE adalah penyakit menular terutama menyerang pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda.
2.5.            Prevensi Penyakit SE
1.      Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
a)      Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b)      Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c)      Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.
2.      Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:   
a)      Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b)      Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:
-          Di sekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.
-          Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.
3.      Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut:
a)      Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
b)      Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.
c)      Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
d)     Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e)      Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f)       Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g)      Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
4.       Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b)      Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c)      Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d)     Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.
2.6.            Gejala Klinis
Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari. Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih. Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput lendir mata hiperemik. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang dapat melanjut ke nekrose kulit.
            Pada SE dikenal tiga bentuk, yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada bentuk busung ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat kelamin juga mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi, sampai 90% dan berlangsung cepat, hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu. Sebelum mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok, merintih dengan gigi gemeretak.
            Pada bentuk pektoral, tanda-tanda bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung, pernafasan cepat dan susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung lebih lama, yaitu antara 1–3 minggu. Kadang-kadang penyakit dapat berjalan kronis, ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan terganggu, terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah.
2.7.            Metode Diagnosa
Metode diagnosa penyakit SE pada ternak meliputi:
1.      Pengiriman bahan
Sediaan ulas darah jantung yang difiksasi metil alkohol
Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteur
 Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.
2.      Pemeriksaan di Laboratorium
Preparat ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif.
 Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah.
3.      Percobaan Biologi
Hewan percobaan yang peka yaitu kelinci, perkutut dan mencit yang disuntik secara subkutan (SC) atau intra muscular (IM). Pada kelinci dapat dilakukan dengan menggoreskan bahan tersangka pada kulit telinga, terutama jika bahan yang dikirim telah busuk. Hewan yang disuntik dengan bakteri ini akan memperlihatkan gejala perdarahan pada pembuluh darah paru-paru dan jantung.
2.8.            Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian penyakit SE pada ternak dapat dilakukan dengan cara pemberian antibiotika sebagai berikut:
1.       Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB (sapi, kerbau), 50 mg/5 Kg BB (kambing, domba).
2.       Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB (sapi, kerbau), 50 – 100 mg/Kg BB (kambing, domba}.
3.       Sulphadimidine (Sulphamezathine): 2 gram/30 Kg BB.
Upaya pencegahan terhadap masuknya/serangan penyakit SE pada ternak dapat dilakukan denan cara:
1.      Pada daerah bebas SE perlu peraturan yang ketat terhadap pemasukan ternak kedaerah tersebut.
2.      Bagi daerah tertular, dilakukan vaksinasi terhadap ternak yang sehat dengan vaksin oil adjuvant. Sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intramuskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.
3.      Langkah untuk pengendalian SE antara lain: karantina yang ketat bagi lalu lintas hewan, isolasi hewan sakit, dan disinfeksi.
2.9.            Biosekurity dan Vaksin Penyakit SE
Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut: Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi. Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.
Vaksinasi dilakukan pada perubahan musim dengan dosis 3 ml secara intramuskuler, sedikitnya setahun sekali
































BAB  III
PENUTUP

3.1.            Kesimpulan
Penyakit SE (Septicemia epizootica), merupakan penyakit menular yang disebabakan oleh bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus dengan ukuran yang sangat halus dan bersifat bipolar. Penyakit SE menyerang pada ternak sapi, kerbau, domba, babi, kambing dan kuda. Khusus untuk daera NTT, kabupaten yang sering terkena serangan penyakit SE yaitu pada Kabupaten Kupang dan Sumba Timur. Pencegahan penyakit SE pada ternakdapat dilakukan dengan pemberian Vaksin pada ternak secara teratur, pengawasan kaluar masuknya ternak dari daerah yang sudah terserang penyakit ini. Selain itu, untuk mencegah penularan penyakit SE pada ternak juga dapat dilakukan melalui sanitasi kandang/areal tempat pemeliharaan ternak.

3.2.            Saran
Dalam upaya mencegah terjangkitnya penyakit SE pada ternak maka disarankan untuk selalu adanya kerjasama antara pihak pemerintah, penyuluh peternakan dan petani ternak untuk saling bersinergi dalam mewujudkan daerah yang bebas dari penyakit SE.
















DAFTAR PUSTAKA



Direktorat Kesehatan Hewan. 1977. Septicaemia Epizootica (SE). Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Lokakarya Penyusunan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Cisarua, Bogor. Tahun 1976.
Mangkoewidjojo, S., A. Bangun, dan S. Nitisuwirjo. 1982. Beberapa penyakit ruminansia dan aspek penelitiannya. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, Bogor.
Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian dan Usaha Pengendalianya pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Dalam:  Puslitbang Peternakan . Prosiding Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 12 juli 2006.
OIE (Office International des Epizooties). 2008. Haemorraghic Septicaemia. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. 

Tidak ada komentar: